Sayangnya, hingga saat ini orang-orang yang memasuki institusi keluarga masih sangat sedikit yang masuk dengan bekal ilmu mumpuni. Sebagian besar sekedar menceburkan diri karena terpaksa, sedang sebagian yang lain menjadikan keluarga sebagai ajang trial and error. Pun kiblat peradaban yang hari ini begitu bersinar dalam teknologi, belum mampu memiliki potret ideal tentang bagaimana merancang keluarga yang baik.
Mari simak penuturan Prof Caroll Quigley, seorang guru besar di Georgetown University, USA yang mengungkapkan bahwa mereka telah mampu meraih berbagai kesuksesan seperti mengontrol pertumbuhan penduduk, menghasilkan kekayaan dan mengurangi kemisikinan. Bahkan mungkin dalam waktu dekat akan bisa menunda kepikunan dan kematian.
Namun diballik semua itu, Prof Quigley , menyimpulkan bahwa masyarakat barat belum paham bagaimana menjadikan anak-anak mereka menjadi orang tua yang matang dan bertanggungjawab. “One things we clearly do not yet know, including the most of important of all, which is how to bring up children to form them into mature, responsible adults...”
Tidaklah mengherankan jika daya tahan keluarga masa kini begitu rapuh sebab kiblat peradaban berada dalam kebingungan untuk memberikan contoh membangun keluarga yang baik. Terlebih bagi kita seorang muslim, kata baik tidak hanya berlaku untuk kehidupan dunia namun juga akhirat.
Maka mari bercermin pada salah satu dari dua keluarga yang terus didoakan oleh jutaan manusia sejak ribuan tahun lalu hingga hari kiamat kelak. Inilah keluarga Ibrahim yang dilantik oleh Allah sebagai ayah bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana termaktub dalam surat Al Hajj ayat 78 “Millata abiikum Ibrahim”
Bagaimana anak yang didik dari jarak jauh bisa menjadi pemimpin umat manusia dan menjadi orang hebat?
Ketika
seorang ayah dengan sangat “terpaksa” berada jauh dari anak maka Allah
menjadi wali bagi orang-orang sholih sebagaimana tercantum dalam Qur’an
surat Al-A’raf ayat 196 “sesungguhnya waliku adalah Allah yang
menurunkan Al-kitab dan dialah yang mengurusi orang-orang sholih.”. Kata
Ustadz Budi Ashari “kesholihan adalah asuransi terbaik bagi anak”. Hal
ini juga tercermin dalam kisah di surat Al Kahfi ayat 82. Juga potret
keluarga Umar bin Abdul Aziz.
Bukan hanya jarak jauh bahkan
dalam jarak dekatpun seorang ayah tak akan mungkin mengaawasi anaknya 24
jam. Haanyalah Allah sebaik-baik pengaawas. Walaupun raga tak bersama
tapi hati dan lisan tak pernah berhenti memohonkan yang terbaik.
Berdoalah
dengaan penuh permohonan dan berdoa secara cerdas. Lihatlah cara nabi
Ibrahim berdoa dalam surat Ibrahim ayat 37. Dimulai dengan berkeluh
-Allah suka hambanya yang mengeluh karena itu artinya dia lemah dan
butuh pertolongan-, mendekatkan dengan mesjid agar anak bisa beribadah
dan mengenym pendidikan dari Masjid, dicintai oleh orang sekitar dan
mendapat pengakuan sosial, kemudian berikan rezeki yang halal dan
thoyyib. Pendidikan yang benar, pengakuan soisal, rezeki yang baik.
Didik
istri menjadi sholihah. Kita bisa melihat pada bunda Hajar jawaban
jenius ketika ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim. Juga bagaimana seorang
anak yang ditinggalkan lama oleh ayahnya namun ayahnya tidak cacat di
mata anaknya. Sang ibu tentu hanya memberikan kesan-kesan positif
tentang sang ayah pada anaknya.
Manfaatkan pertemuan dengan
agenda-agenda ketaatan. Pertemuan yang cerdas dimana saat itu sang ayah
dibaantu oleh anaknya meninggikan Ka’bah. Syari’at ini bukan tak paham
akan kebutuhan bermain anak namun main pu harus berimbass pada
ketaatan.jauhkan gadget karena itu lebih banyak merusak.
Evaluasi
ketaatan. Saat keduanya bertemu ketika Allah memerintahkan untuk
menyembelih Ismail maka sang ayah tidak serta merta melakasnakannya
melainkan terlebih dahulu, meminta pendapat sang anak.
Disinilah terjadi dialog guna mengevaluasi kesholihan anak.
comment 0 Comment
more_vert