MASIGNALPHAS2101
7425642317624470382

Menengok Kiprah Wanita Hebat di Nusantara Melalui Cermin Sejarah

Menengok Kiprah Wanita Hebat di Nusantara Melalui Cermin Sejarah
Add Comments
Senin, 09 Maret 2020
Roda kehidupan terus bergulir, silih berganti lembaran manuskrip kehidupan terbuka. Dalam setiap putaran roda sejarah, seorang wanita memiliki andil yang tak bisa dipandang sebelah mata. Wanita menjadi partner sejati lelaki dalam mengukir gurat-gurat peradaban. Sejarah sebagai penyimpan memori kolektif umat manusia tak kekurangan koleksi tentang wanita-wanita hebat dalam panggung peradaban baik dalam kancah dunia maupun dalam wilayah yang lebih kecil, seperti kawasan nusantara. 

Kawasan yang terletak di garis khatulistiwa ini menampilkan para wanita-wanita tangguh dalam panggung sejarahnya. Sejak lama, ia ibarat rahim yang terus memproduksi wanita-wanita tangguh dengan segala kiprahnya yang tak bisa dianggap sepele bagi hadirnya Indonesia. Jejak-jejak perjuangan mereka, berserakan untuk dijadikan pelajaran. Tulisan ini mencoba  menghadirkan sosok para  wanita dalam ranah-ranah vital yang kadang dianggap sebagai ranah para lelaki.

Dalam bidang politik, mari sejenak mengarahkan cermin ke wilayah paling barat yaitu Aceh. Antara tahun 1641 sampai tahun 1699, yang menjadi pemimpin kerajaan adalah para wanita-wanita hebat. Mereka masing-masing Sri Ratu Tajul Alam Shafiatuddin Johan Berdaulat, Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin, Sri rRtu Zakiatuddin Inayat Syah, dan Sri Ratu Kamalat Syah. Pada masa kepemimpinan Shafiatuddin, terjadi perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni yang begitu pesat. Universitas Baiturrahman bertambah maju, demikian pula pesantren-pesantren yang berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh. Para ulama diberikan kesempatan membuka lembaga-lembaga pendidikan oleh sang Ratu. Hal ini tak lepas dari kecintaannya pada ilmu pengetahuan. Shafiatuddin juga turut terjun menghadapi VOC dan kekuatan-kekuatan lain yang mengancam kerajaannya bersama Armada Inong Bale (perempuan janda) yang dipimpin pertama kalinya oleh Laksamana Malahayati.

Di daerah Kalimantan, mencuat pula pesona Ratu Zaleha, cucu dari Pangeran Antasari. Beliau termasuk pejuang perempuan yang tak hanya berperang melawan Belanda, beliau juga menghimpun kekuatan dari suku-suku di Kalimantan seperti Dayak Dusun,Kenyah, Ngaju dan dari kaum perempuan suku Dayak yang telah memeluk Islam. Beliau juga mengajar baca tulis Arab Melayu dan ajaran Islam lainnya kepada anak-anak Banjar. Bukan hanya itu, Ratu Zaleha juga memberi penyuluhan kepada kaum perempuan Banjar.

Dalam bidang pendidikan, Yogyakarta telah sejak lama menunjukkan kiprahnya sebagai daerah pendidikan. Salah satu nama yang harum dalam  sejarah pendidikan adalah Nyai Walidah atau lebih dikenal dengan sebutan Nyai Ahmad Dahlan. Tekanan terhadap hak-hak perempuan di masa penjajahan, membuat Nyai Walidah tergerak untuk memperjuangkan nasib kaumnya. Dengan dibantu oleh sang suami dan tekad yang kuat berdirilah sebuah kelompok pengajian di tahun 1914 bernama Sapa Tresna yang merupakan cikal bakal dari ‘Aisyiah yang menjadi organisasi sejak tahun 1917. Berbagai kegaitan pemberdayaan perempuan dilakukan melalui wadah ‘Aisyiyah seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Hingga kini tercatat amal usaha ‘Aisyiah telah berjumlah puluhan ribu dengan bidang garap pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan ekonomi. 

Bidang pers juga tak ketinggalan. Nama Rohana Kudus dan Rasuna Said menjadi nama-nama wanita pertama yang berperan dalam bidang jurnalistik. Rohana Kudus merupakan seorang tokoh perempuan pelopor pers Nasional dari Sumatera Barat (Sumbar). Pergerakannya melalui dunia jurnalistik dan wartawati pertama di Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda. Beliau ikut dalam melawan penjajahan dengan turut dalam perang Gerilya dan membantu dapur umum. Ia juga mendirikan sebuah rumah yang mewadahi perempuan dalam mengembagkan bakat kerajinan yaitu Rumah Kerajinan Amai Setia demi meningkatkan perekonomian kaum perempuan.

Rasuna Said dikenal melalui tulisan-tulisannya yang tajam, mengena sasaran, dan lantang menentang kolonialisme. Pada tahun 1935, beliau menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, Raya. Majalah ini menjadi tonggak perlawanan di Sumatera Barat. Polisi rahasia Belanda yang mempersempit ruang geraknya di Sumatera Barat, membuatnya berpindah ke Medan, Sumatera Utara. Di sini ia mendirikan perguruan putri dan kembali menyebarkan gagasan-gagasannya melalui majalah mingguan bernama Menara Poetri.

Dunia kerelawanan juga menyimpan jejak manis kaum wanita. Salah satunya dalam rangka menyambut kemerdekaan. Kaum wanita di wilayah Indonesia bagian barat, khususnya kaum wanita di Sumatra Utara sampai ke Selatan bangkit bersama kaum pria secara bersamaan. Aktifitas kaum wanita bukan saja mempersiapkan diri di garis belakang seperti dapur umum, tetapi juga telah terpanggil untuk menghimpun dana perjuangan berupa barang perhiasan seperti yang dilakukan wanita Aceh. Di bawah pimpinan permaisuri Sultan Siak, telah dilakukan pengumpulan barang perhiasan untuk keperluan badan-badan perjuangan.

Untuk memperkuat barisan, maka tokoh-tokoh wanita dari Aceh, Sumatrea Timur, dan Tapanuli yang ketika itu tergabung dalam wilayah Sumatra Utara membentuk barisan Srikandi. Barisan ini dipersiapkan dengan keterampilan militer, dapur umum, dan keterampilan operator radio. Tokoh-tokoh wanita di wilayah Sumatra Utara di antaranya adalah Teungku Haji Ainal Mardhiah, Rohana Hasyim, Tjut Mariam,. Sedangkan dari Sumatra Timur diantaranya adalah Ny. Mirsan dari Aceh, Ny. Ahmad Taher dari Sumatra Utara serta Ny. FL. Tobing dari Tapanuli. 

Kaum wanita di Sulawesi Selatan juga turut aktif bersama para pemudanya untuk berjuang menyambut kemerdekaan. Tokoh-tokoh wanita daerah ini tampil dengan mendirikan organisasi kewanitaan ataupun kelaskaran, seperti Siti Mulyati Hasyim dengan pasukan wanitanya, Ruaidah dengan Divisi Melati yang tergabung dalam melaksanakan kelaskaran Kris Muda Mandar.

Sebagai wanita masa kini yang bertanggung jawab mengisi kemerdekaan, penting kiranya memikirkan kembali kata-kata yang ditelurkan oleh Founding Fathers bangsa ini -Bung Karno- yaitu “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Sejarah telah menunjukkan pada kita sosok-sosok wanita perkasa yang patut untuk kita teladani. Kiranya hal ini menjaadi cambuk bagi wanita Indonesia untuk tak sekedar eksis di depan cermin rias, namun juga harus hadir mengisi lembaran-lembaran peradaban ke depannya. Kesempatan yang terbuka lebar seharusnya menjadi wadah suburnya kelahiran wanita-wanita perkasa dalam kancah nasional maupun internasional.