MASIGNALPHAS2101
7425642317624470382

Mengancam Ayah

Mengancam Ayah
Add Comments
Rabu, 11 Maret 2020
Picture by thefihub.com

"tadi, teman ibu cerita. Anaknya mengancam tidak akan sekolah kalau tidak dibelikan pulsa hp" 

"Jadi, gimana?

"Yaaa..ibunya harus membujuk dengan berbagai macam cara. Jangan sampai anaknya tidak sekolah. Itupun setelah sang anak melempari atap rumah"

"Wooow..."

Memori ku tertarik kebelakang. 

"Jangan coba-coba meminta dengan mengancam ayah atau ibu" sebuah ultimatum yang diucapkan dengan nada tegas oleh ayah. 

Cerita-cerita tentang anak mengancam orang tua, sejak dulu kerap menghiasai diskusi meja makan kami. Dan seringkali ayah kembali mengingatkan ultimatum diatas. 

"Kalau ancamannya kalian tidak mau sekolah...waahh...ayah dengan senang hati. Kebun-kebun kita akan ada yang mengolah. Jangan berharap tidak sekolah sama dengan leyeh-leyeh dirumah. Ooohhh..tidak. yang tidak sekolah harus melakukan semua pekerjaan rumah + bekerja dikebun selama orang lain ke sekolah" demikian konsekuensi jika kami memilih untuk mogok sekolah. 

Cerita yang sama diracik oleh Tere Liye dalam novelnya berjudul Burlian. Membacanya menebalkan neuron-neuron tentang ayah. Sosok sederhana dengan pengajaran yang tak pernah sederhana. 

Dan satu hal..."jangan pernah marah dengan melampiaskan emosi pada barang".Tegas sekali sanksi yang akan didapat. 

Permintaan ataupun kemarahan harus didiskusikan. Aku mengistilahkannya dengan Majelis Meja Makan...semua masalah akan dibicarakan dan dicari solusinya. Ruang diskusi menjembatani kemauan antara anak dengan anak lainnya atau antara anak dan orang tua. 

Permintaan harus disertai alasan rasional. Jika masuk akal akan d ACC namun jika tidak maka akan ditolak dengan lembut dan disertai nasehat.

Juga pertimbangan needs or wants... Penting skali membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Kebutuhan menjadi skala prioritas, sedang keinginan akan disesuaikan.